Opini

Bongkar Smelter Penadah Timah Ilegal Keranggan-Tembelok

×

Bongkar Smelter Penadah Timah Ilegal Keranggan-Tembelok

Sebarkan artikel ini

OPINI – GONJANG-ganjing tambang timah ilegal di perairan Keranggan-Tembelok, Mentok, Kabupaten Bangka Barat sejak awal beroperasi pada 2023 lalu, hingga kini 2024 terus terjadi.

Jumlah ponton yang beroperasi tak tanggung-tanggung, ada sekitar 300 hingga 600 unit  beroperasi membombardir perairan dangkal dengan kedalaman 3-4 meter itu.

Click Here

Dari penelusuran lapangan, dan info dari penambang dan para pihak, sedikitnya sehari satu ponton bisa menghasilkan 50 kilogram hingga 100-an kilogram pasir timah sehari.

Sehari hasil timah bisa mencapai 15 ton hingga diatas 20-an ton. Sepekan sekitar 100 ton hingga 200-an ton timah ilegal hasil dari Keranggan-Tembelok.

Saat ini harga ditingkat penambang berkisar Rp160 ribu/kg hingga Rp170 ribu/kg. Namun untuk di Keranggan-Tembelok, penambang yang menyambung nyawa itu harus pasrah menerima harga Rp50 ribu/kg hingga Rp60 ribu/kg saja.

Penambang dengan terpaksa harus menerima harga itu dari para cukong timah. Itu pun setiap timah yang ditimbang masih harus dipotong dengan “cangkeman” atau genggaman. Maksudnya begini, setiap timah yang ditimbang, maka cukong atau kaki tangannya akan mengambil timah segenggam Sebagai potongan.

Jika dirupiahkan sehari Rp2,5 miliar hingga Rp8,5 miliar hasil timah ilegal Keranggan-Tembelok. Seminggu 7 hari maka hasilnya bisa mencapai Rp17,8 miliar hingga Rp59,5 miliar. Sebulan? Tinggal kalikan saja.

Selama ini terkesan banyak pihak hanya fokus bagaimana para penambang kelas teri yang harus diatasi. Padahal dari harga Rp170 ribu/kg timah, penambang hanya memeroleh Rp50 ribu/kg – Rp60 ribu/kg. Artinya sehari hanya sekitar Rp750 juta -Rp900 juta. Sepekan hanya Rp5,2 miliar – Rp6,3 miliar.

Bandingkan yang dinikmati cukong, para oknum dan pihak yang ikut makan di sana. Mereka yang paling menikmati selisih harga lapangan Rp100 ribu/kg hingga Rp110 ribu/kg timah ilegal Keranggan-Tembelok. Sehari yang mereka nikmati Rp1,5 miliar – Rp5,5 miliar. Sepekan Rp10,5 miliar – Rp38,5 miliar masuk kantong cukong, para oknum atas nama ini dan atas nama itu.

Maka tidak heran kalau tambang timah ilegal Keranggan-Tembelok sulit diatasi. Karena masih menghasilkan, masih sangat menggiurkan. Kalau sudah bicara uang, apalagi tidak perlu susah memperolehnya, cukup diam, maka akan mengalir lah uang itu ke kantong. Drama Keranggan-Tembelok masih berlanjut.

Memutus Mata Rantai

Sebenarnya bisa di atasi tambang timah ilegal Keranggan-Tembelok. Sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan.

Tambang timah ilegal itu tidak akan beroperasi kalau tidak ada pembeli hasilnya berupa pasir timah. Untuk apa menambang kalau tidak laku, tidak ada yang mau beli.

Kalau penadahnya menolak membeli, otomatis tidak laku timah ilegal itu. Kalau tidak laku, buat apa nambang, pasti akan berhenti atau setop dengan sendirinya.

Buktinya, ketika terjadi kebijakan moratorium ekspor timah beberapa tahun lalu. Nyaris seluruh tambang timah setop beroperasi. Sakan-sakan terjungkal dan sebagian teronggok begitu saja, lapuk. Timbangan berkarat dan para penambang terpaksa masuk hutan mencari kayu junjung sahang untuk dijual atau menyusuri sangai dan laut mencari ikan.

Siapa penampung atau penadah akhir dari timah ilegal Kerangan-Tembelok? Kalau bos sayuran, bos buahan atau pemilik toko material rasanya tidak tertarik menimbun pasir timah. Untuk apa? Apa lagi kalau sehari 15 ton -50 ton. Selain duitnya tidak sedikit, pertanyaannya untuk apa mereka menampung pasir timah?

Anak kecil pun tahu, pasir timah itu dibutuhkan untuk dilebur, dicetak menjadi timah balok. Kemudian, timah balok ini dijual ke luar negeri atau diekspor lewat perdagangan di bursa, dan pengiriman timah batangan tentu saja lewat pelabuhan, melalui proses bea cukai dan sejumlah institusi terkait.

Pertanyaannya, smelter mana yang menampung timah Keranggan-Tembelok? Mana kita tahu, namanya ini baru dugaan. Tugas aparat penegak hukum (APH) lah yang harus mengusutnya. Membongkar praktek gelap yang merugikan negara, masyarakat dan ekologis.

Mungkin saja smelter yang punya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lah yang berhasrat akan pasir timah. Tidak perlu menambang, tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, risiko, pajak dan retribusi ini dan itu. Lewat tambang timah ilegal, pasir timah mengalir, kuota tahunan RKAB terpenuhi, lebur, lempar ke bursa, transaksi, duit puluhan miliar bahkan miliar mengalir ke Bos dan Big Bos. Ini, sekali lagi, mungkin, mungkin saja

Siapa Bos dan Big Bos? Ngeri,ngeri ah, jangankan untuk mengusutnya, menyebut atau menulis namanya saja banyak yang takut, ngeri!

Jika pun memang mau mengusutnya? Maka dibutuhkan kekuatan yang besar. Dibutuhkan power dan melibatkan lintas sektoral. Baik Polri, TNI, Kejagung, Bea Cukai, PPATK, otoritas pelabuhan dan lainnya. Uang yang mengalir sebanyak itu pasti terkait juga dengan dunia perbankan, tentu PPATK dengan sangat mudah melacaknya.

Tapi sudahlah, ini sudah akhir tahun, kuota sesuai RKAB mungkin sudah mulai penuh atau hampir penuh. Tunggu saja sebentar lagi, sedikit lagi. Kalau sudah penuh, otomatis Keranggan-Tembelok akan berhenti dengan sendirinya. Iya, pasti. Mungkin saja dengan seremonial, mungkin saja, mungkin ya, operasi gabungan.

Nanti, tahun 2025, RKAB terbaru keluar, maka drama akan dimulai lagi. Episode demi episode akan ditayangkan. Lalu akak muncul lagi keributan-keributan kecil di lapangan, atau keriuhan di jagat maya? Ah itu bumbu saja…namanya juga drama. Pertanyannya anda terlibat dan memainkan peran apa? Entahlah. (*)

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d