Oleh : Alvi Hadi Saputra
Koordinator Aksi Kamisan Sukabumi
OPINI – “Investasi akan membuka jutaan lapangan pekerjaan baru dan akan berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Presiden RI ke-7 bapak Ir. Joko Widodo beberapa saat setelah resmi dilantik untuk kedua kalinya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019 – 2024.
Sekilas memang tak ada sama sekali yang salah atau menyimpang dari pernyataan beliau tersebut, apalagi memang di periode pertama pun presiden sudah mengundang banyak sekali modal asing masuk kedalam mayoritas proyek pembangun strategis nasional dan proses pembiayaan proyek infrastruktur yang sedang pemerintahan bapak jokowi kebut sedari awal ia dilantik sebagai presiden 2014 lalu.
Lalu pasca gelombang bencana ekologi pada awal tahun 2020 lalu semua persolan mulai terkuak yang selama ini belum menjadi sorotan utama bagi mayoritas rakyat indonesia, awak media, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan, dan berbagai kelompok massa intelektual lain. Semua seakan begitu terjebak dalam persoalan politik praktis lima tahunan serta sistem pragmatisme yang menidurkan berbagai organisasi dan akhirnya melupakan satu isu yang teramat besar urgensinya untuk dibahas yaitu keselamatan ekologi yang sangat terancam oleh adanya investasi besar yang menuntut untuk melakukan eksploitasi besar besaran serta ancaman dari pembangunan tanpa kontrol yang cenderung bernafsu besar dan mengorbankan segalanya.
Bencana ekologi seperti banjir bandang, kekeringan, kebakaran hutan, kabut asap, erosi dan longsor ini jelas hanya sedikit saja melibatkan peran tuhan dalam proses terjadinya bencana sebetulnya, melainkan ini hampir secara keseluruhan diakibatkan oleh ulah tangan serakah manusia dan kapitalisme global yang melakukan ekploitasi besar besaran tanpa memperhitungkan potensi dan dampak bencana yang mengintai. Kita tentu ingat betul bagaimana banjir bandang menerjang kabupaten lebak yang mana hutan di bantaran sungainya dialih fungsikan menjadi lahan lahan tambang, bencana kekeringan melanda Jawa Tengah dan Indonesia bagian timur karena proses penggundulan hutan dan ilegal loging yang begitu masif demi memenuhi kebutuhan produksi korporasi. Para korporasi membakar hutan dengan dalih pembukaan lahan yang akhirnya menimbulkan kebakaran dan kabut asap yang begitu tebal menyelimuti sumatera, kalimantan, serta malaysia dan singapura pun terpaksa harus menikmati dampaknya, tak lupa erosi dan longsor yang kian sering terjadi di kalimantan timur akibat aktivitas tambang yang begitu besar dan dekat dengan pemukiman rakyat. Hingga barulah kemudian kita menyadari bahwa dampak dari investasi secara besar besaran ini tak semanis apa yang presiden Jokowi katakan.
Tentu saja bencana ekologi ini sangat erat kaitannya dengan proses investasi yang dibuka kerannya dan diberikan karpet merah dalam satu dekade terakhir ketika masuk kedalam negara ini. Bagaimana para investor bisa dengan mudah membuka lahan investasi baru tanpa harus memikirkan dampak buruk terhadap lingkungan yang selama ini dianggap menghambat bagi para investor rakus ini. Karena aturan wajib mengenai pemenuhan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan ( AMDAL ) didalam RUU CIPTA KERJA jelas dihapus sebagai syarat utama pembukaan lahan investasi baru. Padahal kita semua sama-sama mengetahui bahwa dokumen AMDAL ini luar biasa penting sebab berisi tentang bagaimana investasi memberi dampak terhadap resiko kesehatan rakyat setempat, resiko bencana yang kapan saja bisa terjadi, resiko kerusakan ekologi yang bisa ditimbulkan. Hingga dengan wacana penghapusan dokumen ini adalah bentuk legitimasi negara terhadap perusakan lingkungan dan negara sedang melakukan pembiaran terhadap ancaman yang rakyat terima dari dampak buruk investasi.
Belum usai disana, ketika UU no 32 tahun 2009 tentang pemberian sanksi pidana terhadap para perusak lingkungan dan membakar hutan lewat rancangan Omnibus Law ini akan dihapus sama sekali menjadi tanpa sanksi pidana, kita bisa bayangkan harus berapa juta lahan lagi yang dibakar oleh korporasi, harus berapa ribu orang lagi yang harus sesak nafas karena efek kesehatan dari kabut asap hingga kita sadar betapa berbahayanya RUU ini bila disahkan.
Lalu pada puncaknya, wacana revisi UU MINERBA no 47 mengenai aturan pembatasan durasi perusahaan tambang yang pada awalnya hanya diperbolehkan selama 20 tahun dengan opsi perpanjangan waktu selama 10 tahun saja. Didalam naskah akademik Omnibus Law disebutkan UU tersebut akan digantikan dengan penambahan durasi signifikan menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan setiap 10 tahun sekali sampai dengan sumber daya alam ditempat tersebut habis tak tersisa lagi. Ini sungguh mengancam eksistensi ekosistem kita sebab konsesi tambang akan menjadi abadi. Manusia, flora, fauna dan tentu saja masa depan generasi bangsa kedepan sedang dipertaruhkan begitu saja hanya demi nafsu besar investasi dan narasi percepatan pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya tidak pernah dinikmati rakyat secara luas dan merata.
Ini jelas menunjukan bahwa negara hari ini telah takluk kepada kepentingan investor dan menunjukan pula ketidakberpihakannya terhadap rakyat kecil yang menjadi mayoritas hari ini. Kita tidak bisa mempercayakan apapun kepada kekuatan politik manapun di parlemen dan istana hari ini untuk mewakili penolakan, sebab hanya kekuatan massa yang bisa meruntuhkan ini semua.
Akhirnya RUU CIPTA KERJA adalah musuh bersama bagi rakyat, yang membuat kita akan sadar untuk segera terjaga dan mulai menyalakan alarm waspada terhadap oligarki yang sedang mengancam kehidupan bangsa indonesia.
Minggu, 01 Maret 2020
Reporter: Rijwan