
Opini, Sekilasindo.com- Pesta demokrasi telah usai, namun banyak hal yang mesti di evaluasi dan ditindaki oleh penyelenggara (KPU). Tidak sedikit kritik bahkan hujatan pedas yang tertuju kepada KPU. Terutama dalam memfasilitasi warga negara dalam menunaikan hak konstitusionalnya dalam memilih wakilnya di parlemen dan istana negara.
Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 23 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”, sementara dalam pasal 43 disebutkan bahwa “setiap warga berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Polemik Pemutakhiran Data Pemilih
Penetapan daftar pemilih tetap (DPT) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan tahapan yang “wajib” dilakukan untuk memastikan kebutuhan logistik pemilu, mulai dari surat suara, bilik suara dan seluruh kelengkapan yang diperlukan dalam pemilu.
Penetapan DPT merupakan suatu keniscayaan, KPU untuk memastikan hak pilih warga terlindungi melakukan tahapan proses verIfikasi hingga penetapan secara berjenjang ditingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
Bahan dasar DPT bersumber dari pemerintah melalui disdukcapil, validitas data awal setidaknya akan mepermudah proses vertifikasi dan validasi data pemilih, tapi kalau data yang bersumber dari pemerintah ini banyak masalah, misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) nya bermasalah, itu akan menyulitkan proses vertifikasi dan validasi data pemilih.
Dalam sejumlah kasus pemilihan, data pemilih menjadi pangkal masalah yang menyebabkan hak-hak dasar warga negara untuk ikut terlibat dalam pemilu terabaikan.
Disdukcapil yang memiliki otoritas untuk melakukan pendataan terhadap kewarganegaraan didorong untuk memastikan bahwa warga negara yang telah berumur 17 tahun dan atau sudah pernah menikah harus diberi ruang untuk melakukan perekaman KTP elektronik.
Pembaruan dan pemutakhiran data pemilih tidak selalu mencerminkan realitas yang terjadi, misalnya ada warga negara yang telah meninggal dunia dan atau telah berpindah domisili, masih dimasukkan dalam daftar pemilih. Sementara pada sisi lain, masih terdapat sejumlah warga yang belum terdata dalam proses ini sehingga terabaikan hak-hak konstitusional.
Kisruh selanjutnya terjadi di daftar pemilih tambahan (DPTB). Menurut undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pencetakan surat suara harus mengikuti jumlah daftar pemilih tetap ditambah 2 persen. “Masalahnya, pencetakan surat suara itu hanya diperuntukkan bagi DPT. Sedangkan untuk jumlah penambahan surat suara DPTB tidak ada aturan yang melegitimasinya. Sementara di beberapa titik jumlah pemilih DPTB begitu masif. Disinilah mis komunikasi yang terjadi antara KPU, PPK, PPS, KPPS dan relawan demokrasi yang tidak menerima informasi yang jelas terkait tidak adanya mekanisme dalam penambahan surat suara bagi pemilih DPTB.
Sehingga masyarakat yang masuk dalam DPTB menjadi korban dan kecewa karena tidak dapat memberikan hak pilihnya. Padahal mereka yang masuk DPTB telah sesuai dalam 9 hingga sisa 4 kategori yang Mahkamah Konstitusi telah putuskan.
Studi Kasus: Kisruh Pemilih Yang Tak Memilih
Salah satu kasus terjadi di Kota Makassar Kec. Manggala TPS 74 terdapat 80 Mahasiswa STIBA yang gagal menunaikan hak pilihnya hanya karena alasan surat suara telah habis.
Namun hingga waktu akhir pencoblosan pun mereka tetap tidak mendapatkan solusi. Padahal sejak pagi mereka telah berada di TPS namun tidak dilayani oleh KPPS setempat dengan alasan lebih mengutamakan pemilih yang terdaftar sebagai pemilih tetap. Padahal di dalam aturan yang telah disepakati bahwa DPTB dan DPT memiliki waktu yang sama untuk mencoblos (07-00-13.00). Namun, yang sangat disayangkan tidak satupun dari pihak KPU Kota Makassar berani mengambil sikap perihal realitas ini.
Contoh lain, masih di Kota Makassar tepatnya Kelurahan Sudiang Kec. Biringkanaya TPS 58 pihak KPPS memberikan 5 surat suara kepada pemilih DPTB yang berasal dari Kalimantan Utara (Kaltara). Ketidakpahaman terhadap daerah pemilihan (dapil) menjadi kunci utama terjadinya kesalahan ini.
Instrument terakhir bagi pemilih yakni daftar pemilih khusus (DPK). Yang ternyata juga mengalami hal serupa. Banyak pihak KPPS yang tidak mengerti tentang apa saja jenis identitas yang dapat digunakan pemilih. Salah satu contoh terjadi di Makassar Kec. Mariso TPS 15 yang tidak mengizinkan pemilih yang menggunakan Kartu Keluarga. Yang mereka pahami hanya KTP EL yang dapat digunakan. Sebagai syarat untuk bisa memilih. Kurangnya informasi atau tidak kompetennya pihak penyelenggara di TPS membuat sebagaian masyarakat kehilangan hak konstitusionalnya.
Komisi Pemilihan Umum harus berani melakukan koreksi secara fundamental secara jujur terhadap internalnya sendiri. Terutama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Hal tersebut dimulai dari proses perekrutan dengan melalui prosedur-prosedur yang telah disepakati. Terutama pada perekrutan “patner” KPU di tingkat TPS (KPPS), Kelurahan (PPS), dan Kecamatan (PPK). Harus melalui seleksi yang jujur, adil, transparan dan menjamin tidak ada Nepotisme dalam proses seleksi. Karena ketiga hal tersebut merupakan pra syarat mutlak dalam menjaga eksistensi dan marwah komisi pemilihan umum yang dilegitimasi oleh konstitusi (UUD) sebagai penyelenggara pemilu.
Dari berbagai kasuistik dan mekanisme atau informasi yang tidak terdistribusi secara tepat menjadi bahan muhasabah (introspeksi) bagi penyelenggara. Untuk terus berbenah dan mencari sebuah mekanisme yang lebih “ramping” terutama dalam mengakomodasi hak konstitusinal masyarakat.
Kewajiban Utama KPU
Pramono U. Tanthowi menyebutkan bahwa KPU memiliki 3 kewajiban utama, Yakni; pertama to respect (menghormati), artinya KPU tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencegah, menghalangi, atau membatasi hak pilih warga negara.
Kedua, to protect (melindungi), berarti KPU harus proaktif mengambil langkah-langkah agar setiap warga negara mendapatkan hak pilihnya, termasuk mencegah pihak-pihak lain melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyulitkan warga negara mendapatkan hak pilihnya tersebut.
Ketiga, to fulfil ( memenuhi), berarti KPU wajib untuk menggunakan segala sumber daya dan kemampuan agar memfasilitasi setiap warga negara sehingga merasa aman dalam menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.
Ketiga kewajiban diatas hukumnya fardu’ain (wajib) diketahui, dipahami dan di implementasikan oleh seluruh sumber daya manusia Komisi Penyelenggara Pemilu tanpa terkecuali. Dan dilaksanakan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Penulis : Fauzi Hadi Lukita (Akademisi UIN Alauddin/Relawan Demokrasi KPU Kota Makassar)