Daerah

Dirut PT Panca Karya Didesak untuk Tidak Halangi Proses Hukum, Tokoh Muda Ambon Tegaskan Ini

×

Dirut PT Panca Karya Didesak untuk Tidak Halangi Proses Hukum, Tokoh Muda Ambon Tegaskan Ini

Sebarkan artikel ini

AMBON. SEKILASINDO.COM – Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Panca Karya, Anthonius Sihaloho, didesak untuk tidak menghalangi proses hukum yang sementara dilakukan penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku.

Click Here

Langkah Sihaloho yang menyuruh mantan Ketua Badan Pengawas Panca Karya, Rury Moenandar, mencabut laporan secara hukum sangat tidak dapat dibenarkan.

“Jangan coba-coba halangi proses hukum terkait kasus korupsi yang melilit PD Panca Karya,” tegas Tokoh Muda Maluku, Body Mailuhu, Selasa (22/1/2019).

Desakan itu diungkapkan Mailuhu menyusul langkah Sihaloho membujuk Rury Moenandar untuk mencabut kasus korupsi yang dilaporkannya di Ditreskrimsus Polda Maluku.

Menurut Mailuhu, Sihaloho seharusnya mendukung proses hukum dugaan korupsi di Panca Karya yang kini ditangani oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku. Bukannya membujuk, Rury Moenandar untuk mencabut laporan korupsi tersebut.

“Sikap Sihaloho itu dapat diklasifikasi sebagai upaya menghalangi proses hukum kasus dugaan korupsi di Panca Karya. Seharusnya ia mendukung, bukannya malah membujuk Rury Moenandar mencabut laporan dugaan korupsi dimaksud,” ungkapnya.

Ia juga meminta Sihaloho untuk fokus mengurusi hak-hak karyawan yang sampai saat ini belum dilunasi.

“Sihaloho harus fokus untuk menyelesaikan persoalan hak-hak karyawan Panca Karya yang belum dilunasi, biarkan persoalan hukum kasus dugaan korupsi di Panca Karya diusut Ditreskrimsus Polda Maluku,” tandasnya.

Laporan Rury Moenandar Dugaan korupsi yang melilit perusahaan milik Pemprov Maluku itu, dilaporkan pada awal Maret 2018 oleh Rury Moenandar saat menjabat Ketua Badan Pengawas Panca Karya.

Laporan diterima oleh Bripda Adrian D Wattimena dengan laporan polisi nomor B/141/I/III/2018/Ditreskrimsus.
Dalam laporannya, Moenandar membeberkan sejumlah fakta penyimpangan yang berdampak pada kerugian negara saat dipimpin Afras Pattisahusiwa, diantaranya, tunggakan biaya docking kepada Dok Perkapalan Waiame sebesar Rp 1.285. 613.300 per 11 Juli 2018.

Selain itu, terjadi pungli yang dilakukan oleh adik kandung Afras bernama Musttaqin Pattisahusiwa. Ia setiap harinya meminta staf pengawas lapangan pada KMP Tanjung Kuako di Dermaga Hunimua, Liang-Waipirit, untuk menyerahkan setiap trip kapal sebesar Rp 500 ribu. Kalau dikalikan enam trip per hari berarti sebesar Rp 3 juta.

Pasca laporan dugaan korupsi itu masuk, tim penyidik Ditreskrimsus menggeledah ruang kerja Afras Pattisahusiwa, pada 2 Mei 2018 lalu.

Tim memeriksa sejumlah dokumen di ruang kerja Afras. Mereka meneliti satu per satu dokumen. Setelah itu, mereka membawa sejumlah dokumen sekitar pukul 16.00 WIT. Afras sendiri saat itu tidak berada di kantor. Kabarnya sementara berada di Jakarta.

Selanjutnya, selama enam jam lebih Afras diperiksa penyidik Ditreskrimsus pada 29 Mei 2018. Sebelumnya, adik kandung Afras, Musttaqin Pattisahusiwa selaku pengawas kapal-kapal feri Panca Karya dicecar penyidik Ditreskrimsus, 9 Mei 2018 lalu.

Hasil Audit BPKP, Dugaan korupsi di Panca Karya juga diperkuat dengan hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Maluku. Audit tersebut diminta oleh Gubernur Maluku, Said Assagaff.

Sama dengan laporan Rury Moenandar, saat audit BPKP juga menemukan tunggakan biaya docking per 11 Juli 2018. Dengan rincian masing-masing docking kapal KMP Teluk Ambon Rp 216.962.400, KMP Lelemuku Rp 231.892.000, KMP Bada Leon Rp 444.621.400 dan KMP Tanjung Sole Rp 392.137.500. Totalnya sebesar Rp 1.285.613.300.

Kemudian ditambah lagi biaya sewa lahan parkir Trans Amboina sebesar Rp 171.720.000 dan sewa gudang untuk cold storage Rp 95 juta.

Disisi lain, BPKP juga menemukan adanya kebocoran pendapatan Panca Karya dari pembayaran dan hutang docking pada PT Dok Perkapalan Waiame.

Temuan itu didapati dari pembayaran docking KMP Tanjung Kuako dan KMP Bada Leon Tahun 2015 dan 2016. Panca Karya mendapatkan fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak atau pelunasan biaya docking yang dibayarkan oleh manajemen PT Dok Perkapalan Waiame sebesar Rp 213 juta. Namun, uangnya tak masuk ke kas perusahaan.

Tak hanya itu. BPKP juga menemukan kekurangan pendapatan yang belum dilaporkan dan belum disetor ke perusahaan senilai Rp. 363.379.724,00 yang berasal dari perbedaan jumlah manifest penumpang dan muatan kapal dengan pendapatan yang dilaporkan dengan rincian sebagai berikut KMP Bada Leon Rp. 27.960.000,00, KMP Tanjung Sole Rp 2.549.724,00 dan KMP Tatihu Rp. 332.870.000 (Arthur)

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d