OPINI,SEKILAS INDONESIA- Tempo hari kasus nasabah pinjaman online (pinjol) sempat viral, sebabnya berbagai hal mulai dari diminta tuk menari telanjang, diancam dibunuh, dipecat dari perusahaan sebab menagih utang ke atasan nasabah, menagih ke rekan kantor yang membuat malu, hingga upaya bunuh diri akibat bunga pinjaman yang sangat besar.
Sebanyak 283 kasus serupa dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan diperkirakan masih banyak lagi yang belum dilaporkan. Ada beberapa hal yang membuat hal ini terjadi:
Pertama, Peraturan OJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tidak mengatur etika penagihan. Ketidakadaan tersebut membuat pinjol leluasa menggunakan berbagai cara penagihan kepada debitur/nasabahnya.
Kedua, masyarakat harus tahu bahwa beberapa pinjol yang beroperasi menggunakan dana pribadi mereka terlebih dahulu untuk membangun trust (kepercayaan), sehingga menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang mereka kembali termasuk menyewa jasa pihak ketiga untuk menagihkan, sebab risiko kehilangan dana (kredit macet) sangat tinggi dan wajar jika bunga yang ditawarkan relatif tinggi.
OJK pun tidak bisa secara langsung menekan pemberlakuan bunga tinggi, sebab tidak ada kepentingan secara langsung, murni kesepakatan atau peer to peer, berbeda dengan bank yang memiliki makro prudensial yang harus dijaga. Akibat hal itu, pinjol juga dijuluki sebagai retenir digital.
Ketiga, penanganan kredit macet menjadi isu yang amat krusial, apalagi Pinjol belum memiliki banyak pengalaman dalam memanajemen risiko (The Disruption Of Banking, 2015: 6-7).
Senada dengan hal tersebut Steven Minskey (CEO governance, risk, and compliance IT specialist Logic Manager) mengungkapkan Pinjol tidak banyak memiliki tim manajemen resiko yang profesional dan belum pengalaman mitigasi risiko yang masih terbatas (Neil, 2017: 19). OJK pun tidak mengawasi pengelolaan risiko penyaluran pinjaman.
Beberapa waktu lalu, saya sempat mewawancarai Chief Operating Officer (COO) Pinjol (PT. Indves Dana Syariah) di Jakarta tentang penagihan kepada nasabah. “Dalam menagih utang itu kita harus lebih galak, sebab itu kewajiban, dalam Islam pun Rasulullah SAW tidak mau menyolati orang yang masih memiliki tanggungan utang”. Ungkapnya.
Saya juga sepakat dengan apa yang diutarakan, “galak” ini yang beretika, tidak dipermalukan apalagi menzalimi, adanya konfirmasi mengenai hambatan dan halangan juga akan turut akan dipertimbangkan, jika lewat batas pembayaran, itu yang dinamakan galak beretika.
Sama halnya ketika Abu Bakar Ash Shidiq memperingatkan umat muslim untuk membayar zakat, namun ketika tidak ditunaikan lantas mampu maka akan diperangi.
Cendawan Pinjaman Online
Sejak diundangkannya POJK No. 77/2016 jumlah perusahaan Pinjol (P2P Landing) kian menjamur.
Data dari OJK menyebutkan sebanyak 30 perusahaan P2P lending sudah terdaftar hingga akhir 2017.
Beberapa nama dalam daftar OJK antara lain Modalku, Uang teman, Dompet Kilat, Cicil, Dana Mapan, dan lain-lain. Jumlah itu juga sepertinya tidak bertahan lama, dan akan bertambah.
Sebanyak 37 perusahaan tengah dalam proses pendaftaran. Sementara yang berminat mendaftar sebanyak 29 perusahaan. Jadi, total perusahaan P2P Landing diperkirakan mencapai 96 perusahaan dalam waktu dekat (sumber: Tirto).
Tentu ini adalah hal yang mesti didukung, sebab kehadiran pinjol satu sisi dapat menyentuh pembiayaan yang tidak terjamah oleh perbankan, seperti UMKM.
Hanya 20% kredit bank yang mengalir ke UMKM, meskipun secara statistik BI menunjukkan grafik peningkatan. Selain itu, porsi pembiayaan usaha yang diberikan perbankan ternyata masih jauh kecil jika dibandingkan dengan pembiayaan yang disalurkan kepada perusahaan besar/non UMKM.
Kondisi ini menujukkan bahwa perbankan masih menganggap UMKM lebih beresiko dibanding usaha besar. Ini sekaligus membuktikan bahwa UMKM belum dianggap memiliki prospek pengembangan usaha yang baik.
Dalam menentukan kualitas kredit debitur pinjol juga memiliki skema yang menarik dan kreatif, contohnya analisis media sosial (medsos) dengan pendekatan Social Network Analysis (SNA).
OJK juga turut mendukung medsos jadi penentu pembiayaan. Ada 5 (lima) hal yang dinilai dari medsos debitur;
(1) aktivitas di Medsos,
(2) Status dan foto/video yang sering diposting,
(3) kecendrungan status debitur dari waktu ke waktu,
(4) Kuantitas traveling menggunakan kartu debit atau kredit,
(5) Jenis penggunaan kredit (rumah, mobil, ponsel, gadget, kuliner), (sumber: Tribun Timur Edisi Jum’at, 30 Maret 2018).
Melihat perkembangan pinjol yang progresif, OJK juga diharapkan tidak terlalu ketat dalam mengaturnya.
Kontrol OJK tetap diperlukan guna melindungi nasabah dari fraud atau penipuan. Aturan yang ketat dikhawatirkan akan mematikan industri pinjol.
Pinjol harus mendapat dukungan dari pemerintah, seperti pemberian subsidi, bantuan modal, ataupun pembiayaan agar dapat survive.
Sebab jika mereka diabaikan investor-investor asing akan mengambil peluang tersebut. Kehadiran pinjol juga secara tidak langsung mengambil segmen pasar lembaga keuangan konvensional.
Ke depan diharapkan baik pinjol maupun lembaga keuangan konvensional dapat saling berkolaborasi. Bukan tidak mungkin pinjol unicorn sekelas gojek misalnya akan hadir di Indonesia, bahkan peluang Indonesia menjadi laboraturium pengembangan pinjol di Asia terbuka lebar.
Maka untuk mencapai hal tersebut, baik pemerintah, OJK, perbankan dan institusi lainya harus bersinergi mengembangkan pinjol.
Semoga bisa…
Penulis : Muh. Taufiq Al Hidayah (Alumni Magister Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor : AR