
OPINI, SEKILAS INDONESIA- Awalnya dia menolak cinta yang datang, namun kini dia dilukai atas nama cinta. Manusia memang mudah dibohongi oleh orang yang dicintainya. Setidaknya itulah yang dirasakan Mawar.
Kini dia duduk termenung di tepi kali, entah apa yang sedang dipikirkannya. Perempuan desa yang selalu ingin hidup seperti Milea, namun terlahir penuh lena. Awalnya dia perempuan desa yang lugu dan tak berharap gombalan apalagi meresponnya. Ungkapan cinta datang silih berganti, namun tak satupun yang dinanti.
Hingga pada suatu hari hati mawarpun luluh oleh seorang lelaki satu kampusnya. Disaat itu dia yakin akan perasaannya terhadap lelaki tersebut, begitu pula sebaliknya. Kesehariannya menampakkan sikap romantisme dengan kata-kata indah bagai api yang melehkan batu perlahan dia secara tidak sadar mengadopsinya di dalam kehidupan nyatanya. Mawar tak lagi sendirian di perantauan, kesehariannya diwarnai dengan sentuhan lembut sang lelaki idamannya.
“Satu tujuan dan satu mimpi, itulah yang menyatukan kita berdua dalam sebuah petualangan, kita jalan bersama di saat suka maupun duka. Tak perlu kau ragu, yakin aku akan terus ada di setiap langkahmu,” kata lelaki itu sambil menatap Mawar.
Mendengar kata sang lelaki yang bagaikan bait puisi roman picisan yang ditujukan kepada ciderella yang sandar di bahu pangeran arjuna. Hati wanita mana yang tak luluh setelah mendengar susunan kata demi kata yang dilantunkan lelaki itu.
Mawar semakin nyaman menjalani kesehariannya di kota berkat lelaki itu, namun disisi lain waktu untuk menyapa keluarga di kampung mulai renggang, prestasi akademik menurun, dan tak jarang waktunya di habiskan untuk jalan malam bersama lelaki idamannya itu. Entah apa yang mereka lakukan di luar sana, sampai-sampai melupakan apa yang harus ia dahulukan.
Semakin lama waktu berputar seakan dunia milik mereka berdua, apa yang diminta olehnya dia berikan. Mungkin mereka terjerat dengan satu kata cinta yang membuat dia lupa akan segalanya. Mawar yang semakin yakin dengan lelaki idamannya tak bisa menolak apapun permintaan darinya. Semuanya telah ia berikan, bahkan yang seharusnya tidak dia berikan ia pun berikan dengan Cuma-Cuma dan hanya berlandaskan cinta.
Sampai pada puncak kenyamanannya, tingkah sang lelaki mulai aneh terhadapnya yang seakan mulai bosan dan hendak menjauh. Pada saat itu pula Mawar merasa cemas akan sikap lelaki idamannya yang agak mulai aneh di matanya. Waktu demi waktu terus berputar, dan tiba saatnya dimana lelaki melantunkan kata yang belum pernah di dengar Mawar sebelumnya. Tanpa alasan lelaki idamannya, yang dia bangga-banggakan melantunkan kata putus.
Rasa sedih dan tangis lah yang muncul pada diri Mawar di setiap detiknya. Dan ternyata yang menjadi alasan utama lelaki itu meninggalkannya adalah Mawar secara tidak sadar dia sudah telat dua minggu yang kebetulan pikiran dan firasat lelaki itu muncul saat melihat pola hidup dan cara pilih makanan Mawar ketika jalan bersamanya.
Hingga akhirnya Mawar kembali dari perantauan dalam menuntut ilmu yang seharusnya pulang memakai toga, tetapi ia pulang membawa tega. Tega terhadap dirinya sendiri dan kedua orang tuanya serta tega terhadap keluarga besarnya.
Mawar kini hanya bisa menyendiri dan termenum di tepi kali kampung halaman memikirkan betapa bodohnya dia selama ini. Memberikan suatu hal yang tak pantas diberikan, dia dihantui dengan rasa penyesalan. Menyesal ingin hidup layaknya Milea.
Penulis : Suandi (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
Editor : AR