
OPINI, SEKILASINDO.COM- Memperingati hari buruh Internasional di tanggal 1 Mei ini diwarnai banyak aksi dari beberapa aliansi ataupun serikat buruh, ada yang turun kejalan menuntut haknya, ada juga yang melakukan bakti sosial dan masih banyak lagi.
Perjuangan serikat buruh sudah lama adanya, dari zaman colonial sampai zaman milenial seperti ini, yang menjadi masalah utama buruh adalah upah yang seimbang dengan apa yang dikerjakan, ini selalu menjadi tuntutan buruh dari masa kemasa, sampai pada zaman kemerdekaan serikat buruh menjadi organisasi sosial yang penting karena keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya.
Ini mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan peraturan yang melindungi buruh seperti UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja disusul oleh UU. No 12/1948 tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, cuti haid bagi buruh perempuan.
Perjuangan buruh memang menjadi ancaman untuk kapitalisme karena dianggap mampu merubah tatanan sosial yang dianggap menindas kaum buruh. Seperti perjuangan buruh perempuan di masa Orde Baru, pada masa itu buruh mendapatkan penindasan dari 2 sisi, ia sebagai buruh dan sebagai perempuan.
Gerakan untuk melakukan tuntutan kolektif dibatasi pemerintah, seperti unjuk rasa, mogok kerja dianggap dapat mengancam rezim orde baru padaa saat itu. Sebagai perempuan penindasan gender juga dialami pada masa itu, menuntut perempuan menjaga kodrat mereka sebagai perempuan yang submisif dan pasif secara politik.
Hal ini membuat seorang buruh perempuan bernama Marsinah yang bekerja di PT.CPS membuat gerakan sosial buruh yang pada saat itu menuntut upah buruh yang sesuai dengan apa yang menjadi ketetapan pemerintah saat itu, ini masih menjadi kontoversi, mengapa tidak perjuangannya yang mengakibatkan Marsinah harus membayarnya dengan nyawa dan masih menjadi perdebatan sampai saat ini.
Perjuangan Marsinah dengan kelompok buruh yang dipimpinnya menjadi sejarah yang harus menjadi renungan semua pihak. Tentang bagaimana pahitnya perjuangan yang dialami buruh untuk menuntut haknya di negeri sendiri.
Di zaman milenial ini tentu saja permintaan pasar semakin besar sehingga buruh harus bekerja lebih keras lagi, seharusnya ini membuat buruh semakin sejahtera dengan undang-undang yang melindungi serta upah yang pastinya seimbang karena ya permintaan pasar yang semakin tinggi. Tetapi ya, perjuangan buruh tak pernah lepas dari tuntutan upah dan jam kerja yang dianggap tidak seimbang.
Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan lagi nasib buruh, karena pendapatan Negara juga tak terlepas dari jeri payah buruh. Dengan memenuhi tuntutan buruh, perusahaan memberikan ruang-ruang diskusi untuk buruh tentang tuntuan mereka tanpa adanya intervensi.
Bukan melah membayar upah sekecil mungkin dan mendapat untung sebesar mungkin. Belum lagi kekerasan yang dialami, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan lain-lain.
Semoga di Hari Buruh Internasional ini dengan banyaknya gerakan sosial yang menuntut haak buruh, menjadi bahan renungan untuk kita semua bahwa buruh mempunyai Hak Asasi Manusia yang sama-sama harus kita jaga.
“perjuangan buruh adalah perjuangan kolektif yang harus berdialog dengan sebuah semangat untuk membawa paket kesejahteraan dimeja perjuangan yang sama. Dan semangat ini adalah obor yang terus menyala dan menolak padam ”
Penulis : Andi Eka Saputri (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)