SEKILASINDO.COM-Kadang naif pikiranku karena terlalu banyak penderitaan yang kualami. Mungkin aku pintar secara akademik tapi aku tidak cerdas. Aku tidak punya keberanian dan rasa percaya diri.
Setelah menikah, aku pikir bisa menikmati masa bulan madu yang indah layaknya perempuan lain. Ternyata, kualami malam pertama yang kelabu. Bukan madu yang kudapatkan, tapi racun yang ia berikan. Bukan cinta yang kuterima, tapi sakit yang ia torehkan.
Aku memberikan sesuatu yang paling berharga bagi suami saat malam pertama. Sesuatu yang takkan pernah diambil daripadanya. Tetapi alangkah kagetnya, ternyata suamiku mengidap penyakit kelamin. Aku terjangkit penyakit kelamin darinya. Hari hingga bulan-bulan berikut, kami tidak bisa melakukan hubungan suami-istri karena penyakit kelamin menyerang diriku. Kami berdua harus berobat.
Berat sekali menerima kenyataan sepahit ini. Impian akan bulan madu yang indah sirnah. Aku baru tahu, ternyata suamiku pecandu seks bebas, bergonta-ganti pasangan. Selama masa pacaran, ia sangat rapi menutupi borok dan aku tidak pernah tahu hal itu, meski waktu pacaran kami cukup lama. Di malam pertama, aku harus menerima kenyataan, tertular penyakit kelamin, hadiah darinya untukku. Aku merasa tertipu.
Kami menjalani pengobatan dan dokter menganjurkan untuk terapi hormon. Penyakit itu sudah menjalar hingga ke rahimku. Proses berjalan dengan baik tetapi efek terapi membuat hilangnya nafsu berhubungan seks, badan melebar, mudah marah, tulang-tulang nyeri, hot flashes dan sebagainya.
Suamiku sembuh dari sakitnya, demikian pula aku. Aku berpikir dia sudah bertobat karena telah berkali-kali meminta maaf atas kejadian itu. Aku berusaha memaafkan dia. Tetapi nyatanya ia kambuh. Hingga suatu saat ia terkena penyakit itu lagi. Aku pun tertular penyakit untuk kedua kalinya.
Lagi-lagi aku harus menjalani terapi hormon. Efek terapi kali ini harus kutanggug sendiri, mulai dari radang panggul hingga rahim terinfeksi berat. Efek terburuk adalah muncul tumor baru di rahim. Aku harus operasi pengangkatan rahim karena infeksi sudah menyebar ke seluruh tubuh. Pupus sudah harapanku untuk hamil dan memiliki anak. Sewaktu ditanya, suamiku setuju untuk pengangkatan rahim.
Setelah operasi, jika kami melakukan hubungan suami istri aku selalu memintanya untuk mengenakan pengaman, agar tidak terjangkit lagi. Mungkin hal itu membuat ia bosan. Ia semakin menjadi-jadi. Tanpa malu, ia selingkuh bukan hanya dengan seorang tetapi beberapa orang. Hal ini belakangan kutahu dari rekaman video dan chat mesrah di hp nya. Alasan yang selalu ia katakan karena aku tidak bisa hamil.
Bertahun-tahun ia tidak mempedulikanku. Ia lebih memperhatikan perempuan lain. Aku perempuan! Aku mau hamil dan punya anak. Tapi aku sudah hancur. Tubuhku sudah tersirami dengan racun kelamin dan kini ia seenaknya menyalahkan aku dengan semua keruwetan ini.
Tanpa beban ia mencari perempuan lain untuk bersenang-senang. Kadang aku membatin, apakah ia tidak punya hati sehingga tega menyemburkan penyakit, memasukan borok kelamin yang sama ke perempuan lain. Apakah ia tidak punya hati untuk menghargai perempuan. Tidak puaskah ia hancurkan tubuhku, batinku, jiwaku, masa depanku, harapan hidupku?
Bicara dari hati ke hati kami lakukan tetapi ia tidak pernah berubah. Apa yang dibicarakan hanya angin lalu. Aku selau mengajaknya untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater karena kecenderungan seksualnya yang liar itu, tetapi berkali-kali ia menolak dengan alasan cukup aku dan dia yang tahu.
Aku hanya berdoa semoga Tuhan menyadarkan dia. Hingga suatu saat aku terkejut karena ia mengajakku ke seorang pembimbing rohani karena ingin bertobat. Sumpah di atas Kitab Suci ia lakukan sebagai bukti pertobatan. Tapi itu ternyata di mulut. Seminggu kemudian, penyakit liarnya kambuh lagi.
Kesabaranku juga ada batasnya. Maka terjadilah keributan dalam rumah tangga dan ia memilih untuk tinggal di sebuah kost. Ia semakin bebas berbuat apa saja, termasuk hidup bersama dengan perempuan lain layaknya suami istri.
Suatu saat aku melabrak dia dan selingkuhan di kost. Aku marah dan setelah itu pingsan, tidak sadarkan diri. Entah apa yang harus aku lakukan atas semua semua peristiwa ini. Aku pasrah. Kering sudah air mata. Mungkin Tuhan juga sudah bosan dengan doa-doa yang kupanjatkan setiap hari.
Hingga suatu saat, ia menggugat cerai. Okelah! Itu haknya, bukan pilihanku. Kalau mengikuti kemarahan dan kekecewaanku, aku juga mau cerai. Apa sih yang bisa kubanggakan darinya? Uang? Sejak menikah, aku jarang merasakan uang gajinya. Uang gaji dipakai hanya untuk main judi dan main perempuan. Ia punya utang di Bank dan aku harus membayar dengan gaji dan tunjanganku. Sewaktu ia berobat, aku pula yang membayar semuanya. Apa sih yang sudah dia usahakan untuk rumah tangga kami? Tidak ada, karena hati dan pikirannya sudah terracun.
Sekali lagi, aku bisa saja cerai. Tapi satu yang masih aku ingat yakni janji. Ya, ini bukan masalah cinta tapi janji dan konsekwensinya. Aku berusaha bertahan demi sebuah janji.
Hanya saja aku bukan perempuan lemah. Sekalipun bertubi-tubi ia menghantamku, aku masih kokoh. Sekarang aku sudah sampai pada titik bersyukur. Bersukur untuk semua yang aku alami, sakit penyakit, pergumulan rumah tangga, semua kepahitan yang telah terjadi.
Aku takut dan tak mau terkena penyakit yang memalukan itu. Apa sih yang bisa kubanggakan darinya? Apa sih yang bisa kuharapkan darinya?
Jika ia menghendaki perceraian, biarlah itu pilihan dia. Satu yang aku pegang teguh adalah janji dan harapanku pada Tuhan. Aku tidak ingin jauh dari Tuhan. Jikalau pun aku harus hidup sendiri, biarlah hidupku dekat dengan Tuhan. Aku hanya ingin berdoa dan menyambut kehadiran Tuhan dalam hidupku. Aku tidak mau jauh dari Tuhan. Manusia boleh menghancurkan hidupku, tapi jangan Tuhan.
Seandainya suatu saat ia bosan mengotori perempuan lain, dan kembali padaku, aku akan menerimanya agar ia bisa merasakan rasa yang sama. Cara yang berbeda tapi rasa sama, sakit.
Untuknya yang sedang berasyik mesrah dengan perempuan lain, dengarkan kata hatiku ini:
‘Jika suatu saat aku memiliki keberanian pergi darimu, aku tidak akan pernah lagi menoleh kepadamu. Sedikitpun tidak! Terlalu banyak luka yang kau torehkan dalam hatiku. Hancur! Itu yang kurasa.
Bila aku sudah bosan terpuruk dalam kehancuranku, aku akan bangkit melawanmu. Kamu akan melihat dan merasakan kekuatan yang ada padaku akan berlipat ganda mengantarmu pada sakitnya kehancuran hati. Saat itu, aku akan melihat kamu sakit melebihi rasa yang pernah kamu hadiahkan untukku.
Tapi aku tak akan menghancurkanmu dengan cara yang sama seperti kamu meleburkan aku. Caramu sangat kotor, hina dan aku tidak akan pernah memilih cara dan jalanmu. Cara yang berbeda tetapi rasa sama. Itulah kado terakhirku untukmu. Karena kita berbeda.’
(Cerita fiksi. Kalo ada kesamaan kisah, itu hanya kebetulan). (P.Joseph Pati Mudaj, MSF)