JAKARTA – Omnibus Law merupakan model legislasi yang diadaptasi dari United State of America (USA) sebagai negara penganut tradisi hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.
Sedangkan negara Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System. Pada tataran konstitusi, lahirnya Omnibus Law melanggar kode etik pembentukan Undang-Undang karena tidak melibatkan stakeholder yakni masyarakat sipil.
Padahal, dalam sistem Civil Law, stakeholder wajib untuk berkontribusi dalam produksi regulasi. Namun, UU Omnibus Law dibuat secara tertutup dan tidak transparan oleh pihak eksekutif dan legislatif serta beberapa pihak yang memiliki kepentingan tanpa melibatkan publik.
Lahirnya Omnibus Law menurut pemerintah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya stagnan pada angka 5% dan ditargetkan mencapai 6%, perluasan lapangan kerja, membuka pintu investasi selebar-lebarnya, serta perlindungan bagi tenaga kerja.
Namun, Omnibus Law dikecam oleh banyak kalangan terkhusus kaum buruh. Berbagai pasal yang dianggap berpolemik dan bersifat mengeksploitasi serta merugikan banyak pihak.
Himapol Indonesia menyoroti Omnibus Law dalam 3 (tiga) aspek, yaitu :
Pada aspek formal, Himapol Indonesia menyayangkan proses penyusunan Omnibus Law yang dilakukan di dalam “ruang tertutup” dengan tidak melibatkan stakeholders.
Hal tersebut kemudian menghambat publik untuk turut mengkaji aspek material dan telah menimbulkan berbagai polemik.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, Himpunan Mahasiswa Politik Indonesia (Himapolindo) dengan tegas menolak paket kebijakan Omnibus Law dan menuntut pemerintah untuk mencabut pasal-pasal yang bersifat eksploitatif dan merugikan.











