Uncategorized

Pandeglang Menolak Jadi Tempat Sampah: Suara Warga untuk Pemerintah

×

Pandeglang Menolak Jadi Tempat Sampah: Suara Warga untuk Pemerintah

Sebarkan artikel ini

SEKILAS INDONESIA, OPINI, Pandeglang – Saya lahir dan besar di Pandeglang. Dari kecil, orang tua saya mengajarkan hal sederhana: kalau selesai makan, cuci piring sendiri; kalau bebikinan di dapur, bersihkan kembali; kalau punya sampah, urus sampai tuntas. Ujarnya tidak rumit, tetapi pesannya jelas: jangan tinggalkan beban untuk orang lain. Itulah pelajaran pertama saya tentang hidup rukun, sebelum saya tahu apa itu rapat, aturan, dan jabatan.

Karena itu hati saya tersentak ketika mendengar Pandeglang diposisikan menjadi tempat pembuangan sampah dari luar daerah. Rasanya seperti ada tamu yang membawa karung kotor, lalu meletakkannya di ruang tamu kita, sambil berkata, “Nanti juga kamu biasa.” Bagi saya, ini bukan sekadar soal bau. Ini juga soal harga diri, soal bagaimana kita dipandang, dan terutama soal bagaimana pemerintah memandang warganya sendiri.

Click Here

Saya tahu Wakil Bupati berani maju ke depan untuk menjelaskan. Saya hormat pada sikap itu. Tidak semua pejabat mau berdiri di tengah kritik. Tetapi rasa hormat itu tidak berarti saya setuju dengan kebijakannya. Saya tetap menolak Pandeglang menampung sampah dari luar. Alasannya sederhana: mengurus sampah kita sendiri saja masih banyak kekurangan, apalagi menambahi tumpukan dari kota lain. Itu sama seperti rumah yang bocor atapnya, lalu tetap dipaksa menampung tamu banyak. Bukannya menambah kehormatan, yang ada malah menambah basah dan penyakit.

Ketika saya datang ke kampung yang dekat dengan tempat pembuangan, cerita warga tidak berputar pada kata-kata besar. Mereka bercerita tentang seharian memasak sambil mengusir lalat, tentang anak kecil yang batuk lama, tentang jemuran yang menempel bau tak enak. Mereka bercerita tentang tidur yang tak nyenyak saat angin membawa aroma busuk, tentang tamu warung yang berkurang, tentang air yang rasanya berbeda. Mereka tidak menuntut mewah. Mereka hanya ingin hidup normal. Mereka ingin bernapas lega, ingin dagangnya tetap laku, ingin anaknya tumbuh sehat. Itu saja.

Di sini saya ingin bicara jujur. Kita butuh uang untuk membangun, iya. Kita butuh jalan diperbaiki, sekolah direnovasi, puskesmas ditambah. Tapi tidak semua cara pantas ditempuh. Uang yang datang dengan menambah beban di dada rakyat kecil bukanlah rezeki. Itu racun yang pelan-pelan merusak kepercayaan, lalu meretakkan hubungan pemerintah dengan warganya. Kalau alasan menerima sampah dari luar adalah untuk menambah pendapatan, saya yakin masih banyak jalan lain yang lebih bersih dan lebih terhormat. Kita punya ladang, punya kebun, punya pantai, punya anak-anak muda yang rajin. Tinggal kemauan untuk mengurus sungguh-sungguh.

Ada juga yang berkata,” tenang, tempatnya nanti akan diperbaiki.” Saya ingin percaya. Tapi logika sederhana berkata: kalau rumah kita masih berantakan, jangan dulu undang rombongan tamu. Bereskan dulu dapur, rapikan dulu kamar, cek dulu kamar mandinya, pastikan atapnya tidak bocor. Setelah semua betul-betul siap, barulah undang orang datang. Itu saja logikanya. Jadi, soal sampah ini, hentikan dulu rencana menerima dari luar. Benahi dulu yang di dalam. Ajak warga sekitar bicara dari awal, bukan setelah bau sudah menyerang rumah mereka. Dengarkan apa yang mereka rasakan. Jangan buru-buru menenangkan dengan janji, tunjukkan perbaikan dengan tindakan.

Mengurus sampah kita sendiri pun harus berubah caranya. Selama ini kita sering memasukkan semuanya ke satu karung: sisa nasi, daun, plastik, karet, kaleng, botol, semua campur. Akhirnya, yang bisa dijual pun ikut kotor, yang bisa jadi pupuk juga jadi busuk. Padahal ada cara yang lebih masuk akal dan gampang dimulai. Pisahkan yang basah dengan yang kering. Sisa dapur seperti nasi, sayur, kulit buah bisa dikumpulkan sendiri supaya cepat diolah. Yang kering seperti kertas, botol, dan kaleng bisa disimpan beberapa hari, lalu dijual. Kalau pasar dan sekolah ikut, hasilnya akan terasa cepat. Tidak perlu bicara susah-susah. Yang penting mau mulai.

Pemerintah bisa memimpin contoh ini tanpa banyak biaya. Mulailah dari pasar, sekolah, dan kantor-kantor desa. Di pasar, sisa sayur dan buah tiap hari bisa dikumpulkan jadi bahan pupuk atau gas masak sederhana untuk kantin. Di sekolah, guru bisa mengajak murid membawa botol bekas seminggu sekali, lalu ditimbang dan hasilnya untuk kas kelas. Di kampung, ibu-ibu bisa diajak membuat cairan pembersih dari sisa kulit buah, atau kompos di ember kecil. Hal-hal seperti ini bukan hanya menurunkan tumpukan, tapi juga menumbuhkan rasa memiliki. Kita jadi merasa, “Oh, ternyata bisa ya. Ternyata tidak sesulit itu.”

Di sisi lain, tempat pembuangan juga harus dirawat seperti merawat halaman rumah sendiri. Sampah yang datang jangan dibiarkan terbuka seharian. Tutup setiap selesai menumpuk. Semprot yang menimbulkan bau, jangan hanya ketika ada kunjungan. Buat parit yang rapi agar air hujan tidak mengalir membawa kotoran ke mana-mana. Atur rute dan jam angkut supaya jalan kampung tidak jebol dan warga tidak terganggu sepanjang hari. Pasang pipa untuk menyalurkan gas dari tumpukan agar tidak memicu kebakaran. Semua ini bukan istilah rumit. Ini kewajaran dalam merawat tempat yang memang menanggung beban banyak orang.

Ada pertanyaan yang sering muncul: “Kalau semua ini dilakukan, apakah warga akan berhenti protes?” Jawaban saya: protes bukan musuh. Protes adalah cara warga menyampaikan rasa sakit. Kalau sakitnya berkurang, protes akan mereda dengan sendirinya. Kalau udara lebih enak, kalau lalat makin jarang, kalau air terasa bersih, kalau dagang kembali ramai, warga tidak akan melawan. Justru mereka akan ikut menjaga. Karena tidak ada orang waras yang ingin ribut tiap hari.

Saya juga ingin menyentuh hal yang sering diabaikan: cara pemerintah mendengar. Selama ini, warga datang rapat, bicara panjang, pulang tanpa kepastian. Minggu depan datang lagi, jawabannya sama. Bulan depan, masih juga sama. Lama-lama warga lelah, lalu marah. Padahal yang mereka minta bukan kertas tebal, melainkan perubahan yang bisa dirasakan. Untuk itu, pemerintah perlu menaruh hal-hal penting di tempat yang bisa dilihat semua orang: berapa truk datang sehari, dari mana saja, jam berapa pembuangan berhenti, kapan dilakukan penutupan tumpukan, kapan penyemprotan lalat, apa yang dikerjakan minggu ini, keluhan apa yang masuk, dan kapan diselesaikan. Tidak perlu kata-kata rumit. Tulis di papan pengumuman desa, tempel di balai kampung, umumkan di masjid. Biarkan orang tahu dan mengawasi. Kepercayaan tumbuh dari terang, bukan dari bisik-bisik.

Khusus untuk keluarga yang tinggal paling dekat, perlakukan mereka seperti saudara. Datangi rumah mereka satu per satu. Tanyakan apa yang paling mengganggu: bau, lalat, jalan rusak, atau air. Buat catatan per rumah, selesaikan satu-satu. Sediakan pemeriksaan kesehatan rutin gratis. Perbaiki jalan yang sering dilewati truk. Bantu pemasangan jaring di dapur-dapur. Bantu penyaring air di sumur yang butuh. Jangan tunggu musim pemilihan. Lakukan sekarang. Rasa adil itu lahir dari perhatian yang nyata, bukan dari amplop yang datang sesekali.

Ada yang berkata, “Kalau tidak menampung sampah luar, dari mana kita dapat tambahan uang?” Pandangan seperti ini membuat saya sedih. Seolah-olah Pandeglang tidak punya nilai lain selain menjadi penadah beban orang. Padahal kita punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Hasil kebun kita bisa diolah lebih baik, pariwisata alam bisa dirapikan, anak-anak muda bisa didorong membuat usaha kecil, dan pengelolaan sampah yang rapi justru bisa jadi sumber penghasilan baru. Barang bekas yang terpilah punya harga. Sisa dapur yang diolah jadi pupuk bisa kembali ke sawah. Kalau ini berjalan, uang tidak datang dengan mengorbankan tetangga, tetapi datang dari kerja yang bersih.

Saya mengerti juga ada perjanjian yang sudah telanjur dibuat. Tapi perjanjian bukan kitab suci. Perjanjian dibuat manusia, dan manusia punya hati. Kalau perjanjian menyakiti banyak orang, perjanjian itu harus ditinjau ulang. Duduk kembali dengan kepala dingin, lihat kenyataan lapangan, dengarkan suara warga, dan ubah yang harus diubah. Lebih baik memperbaiki sekarang, daripada memaksa jalan terus lalu menyesal bertahun-tahun.

Saya ingin menegaskan sekali lagi: saya mendukung keberanian Wakil Bupati untuk hadir dan menjawab. Itu langkah baik yang harus dipertahankan. Tapi keberanian hadir harus diikuti keberanian memilih jalan yang benar. Jalan yang benar mungkin tidak menambah uang cepat, tetapi menambah kepercayaan. Dan kepercayaan, sekali pecah, sulit dibeli kembali.

Pada akhirnya, ukuran kepemimpinan bukan seberapa lancar kita menjelaskan kebijakan, tetapi seberapa berani kita membatalkan keputusan yang melukai rakyat. Pandeglang tidak butuh pujian di atas panggung, Pandeglang butuh udara yang bisa dihirup tanpa cemas. Kalau memang kita mengaku sayang pada tanah ini, mari buktikan dengan memilih yang paling sederhana namun paling berarti: hentikan rencana yang menambah beban, benahi cara kita mengurus rumah sendiri, dan ajak semua orang berjalan bersama.

Saya percaya, ketika pemerintah menaruh telinga di dada rakyat, suara kebijakan akan terdengar lebih jernih. Saya percaya, ketika warga diberi tempat untuk bicara dan dilihat sebagai pemilik rumah ini, amarah akan pelan-pelan berubah jadi tenaga. Mungkin kita tidak bisa menyelesaikan semuanya dalam sehari. Tapi kita bisa memulai hari ini, dengan satu keputusan yang benar, lalu diikuti satu langkah yang konsisten, dan disaksikan oleh semua mata.

Jika nanti ada yang bertanya kepada anak-anak kita, “Apa yang kalian lakukan saat Pandeglang hendak dijadikan tempat buangan?” Biarlah mereka menjawab dengan bangga, “Kami menjaga rumah kami.” Dan semoga ketika mereka dewasa, mereka tidak lagi mewarisi cerita tentang bau yang menusuk atau lalat yang tak ada habisnya, melainkan kisah tentang kampung yang kompak, pemimpin yang berani, dan keputusan yang memihak kehidupan.

Oleh : Nurjaya Ibo, Anak Seorang Buruh Tani, Manusia Indonesia.

(Oji)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca