Opini

Mempersiapkan Konstruksi Bangunan Keluarga Sakinah

×

Mempersiapkan Konstruksi Bangunan Keluarga Sakinah

Sebarkan artikel ini

OPINI – Keluarga sebagai entitas terkecil memiliki pengaruh dan peranan yang besar terhadap keberlangsungan dan keutuhan sebuah bangsa dan negara. Semakin kuat ketahanan keluarga maka semakin kokoh pula bangsa dan negara tersebut.

Hanya saja, keluarga sebagai entitas terkecil, sekarang ini tengah dilanda berbagai persoalan. Setidaknya ada 4 (empat) issu utama problematika ketahanan keluarga di Indonesia yaitu, Perkawinan Anak, Stunting, Kemiskinan dan Perceraian.

Click Here

Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa perceraian di Indonesia mencapai angka 28.4 persen sekaligus menempatkan Indonesia sebagai Negara yang memiliki tingkat perceraian tertinggi di Asia Tenggara. Dari angka tersebut, 93 persen didominasi dengan peristiwa cerai gugat (perceraian yang diajukan oleh pihak perempuan/istri).

Selain tertinggi di Asia Tenggara, data yang lain juga menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia juga menempati posisi tertinggi di Asia Afrika, sekitar 28 persen dari angka perkawinan.

Masih tingginya angka perceraian yang terjadi tentu membuat kita merasa resah dan risau karena pernikahan seakan-akan tidak lagi memiliki kesakralan sedangkan perceraian sudah menjadi sesuatu yang tidak lagi tabuh di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, 93 persen perceraian yang terjadi karena cerai gugat yang dilakukan oleh istri.

Untuk mengurai sekelumit persoalan yang merongrong ketahanan keluarga di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama saat ini tengah menggencarkan program layanan bimbingan keluarga sakinah berwatak moderat pada Kantor Urusan Agama.

Program ini dibagi kedalam 3 (tiga) fase, Pertama, Fase Remaja melalui bimbingan remaja usia sekolah, Kedua, Fase Pranikah yang meliputi bimbingan pemuda usia nikah dan belum mendaftar nikah kemudian bimbingan calon pengantin bagi yang telah mendaftar nikah, Ketiga, Fase Masa Nikah yang diperuntukkan bagi keluarga muda atau baru menikah dan PASTURI (Pasangan Suami Istri).

Melalui program ini, diharapkan akan terwujud keluarga yang sakinah sekaligus menjadi jalan keluar dari sekelumit persoalan yang merongrong ketahanan keluarga Indonesia.

Mengapa keluarga sakinah? Karena keluarga sakinah merupakan keluarga yang bahagia lahir batin, sumber ketenangan jiwa, memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi setiap orang yang ada di dalamnya secara adil, bermartabat, dan manusiawi.

Lalu bagaimana keluarga sakinah terbentuk dan menjadi solusi ketahanan keluarga? Ibarat rumah maka ia harus dibangun menggunakan konstruksi yang kuat, mulai dari pondasi, tiang hingga atap.

Mempersipakan Fondasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata fondasi diartikan sebagai dasar bangunan yang kuat, tempat bangunan akan didirikan. Dengan kata lain, fondasi adalah dasar atau pijakan awal dari sebuah bangunan. Kokoh tidaknya bangunan yang akan didirikan bergantung pada fondasinya. Semakin tinggi dan besar bangunan yang akan dibangun maka fondasi yang disiapkan juga harus kuat dan kokoh sebagai dasar pijakan.

Dalam membangun sebuah keluarga, konstruksi awal yang perlu disiapkan adalah fondasi keadilan dan kesalingan. Laki-laki dan perempuan (suami/istri) harus memiliki cara pandang yang sama sebagai hamba Allah Swt. memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan (suami/istri) didasarkan pada kemitraan dan kerjasama bukan atas dasar penguasaan dan hegemoni.

Cara pandang menggunakan persfektif keadilan dan kesalingan harus dimiliki setiap orang baik yang telah berkeluarga atau dalam proses persiapan memasuki mahligai rumah tangga.

Harus diyakini bahwa tidak ada satupun manusia yang menerima dengan senang hati saat direndahkan dan diperlakukan secara tidak adil. Maka keluarga yang di dalamnya terdiri dari manusia-manusia yang merasa diperlakukan tidak setara dan tidak adil akan lebih rentan menimbulkan ketegangan, konflik, KDRT hingga perceraian dan kriminalisasi. Sedangkan relasi yang adil dan berkesalingan diantara anggota keluarga akan mempermudah mewujudkan keluarga sakinah yang hakiki.

Hal lain yang juga mesti diperhatikan dalam mempersipakan fondasi keluarga sakinah adalah dengan meluruskan niat. Bahwa pernikahan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata, seperti pemenuhan bilogis dan hal-hal yang bersifat dunawi lainnya tapi juga harus diarahkan kepada urusan ukhrawi.

Karena pernikahan itu adalah ibadah terpanjang, maka niatnya harus diarahkan untuk menggapai ridha Allah Swt. bukan hanya secara pribadi tapi juga untuk seluruh anggota keluarga. Dengan demikian, segala tindak tanduk dalam keluarga harus memiliki muara yang sama yakni ibadah dan ridha Allah Swt.

Sebagi contoh, suami jika bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga maka niatnya tidak semata menggugurkan kewajiban tapi karena dengan bekerja memenuhi kebutuhan keluarga itu adalah ibadah. Demikian halnya dengan istri, dalam melayani dan memenuhi kebutuhan suami serta mengurus rumah tangga juga harus dilakukan atas dasar ibadah tidak semata-mata karena karena kewajiban.

Jika semua anggota keluarga telah memiliki persfektif keadilan dan kesalingan yang sama serta niat yang sama maka dengan sendirinya fondasi yang kuat akan terbangun untuk menopang bangunan yang bernama keluarga sakinah.

Menegakkan Pilar

Jika pondasi keluarga telah terbangun dengan kuat, maka langkah selanjutnya adalah menegakkan pilar sebagai bagian dari konstruksi bangunan keluarga sakinah.

Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa pilar itu bermakna tiang penguat, penyangga dan penopang. Karena keluarga adalah bangunan yang memiliki jangka waktu yang panjang, maka harus dipastikan tetap berdiri kokoh meski diterpa badai. Untuk memastikan itu tetap kokoh maka setidaknya ada lima pilar yang harus ditegakkan.

Pertama, suami dan istri harus sama-sama meyakini bahwa dalam perkawinan keduanya adalah berpasangan (zawaj). Suami-istri laksana sepasang sayap yang bisa membuat seekor burung terbang tinggi untuk hidup dan mencari kehidupan. Keduanya penting, saling melengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama. Dalam ungkapan al-Qur’an, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. Sebagaimana fungsi pakaian, maka suami-istri mesti saling menutupi satu sama-lain.

Kedua, suami dan istri sama-sama memegang teguh perkawinan sebagai janji yang kokoh (Mitsaqan Ghalizha). Suami-istri sama-sama menghayati perkawinan sebagai ikatan yang kokoh agar bisa menyanggah seluruh sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Keduanya diwajibkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat, sementara yang lain melemahkannya.

Ketiga, suami dan istri memperlakukan pasangannya secara bermartabat (Mu’asyaroh bil-Ma’ruf). Ikatan perkawinan harus dipelihara dengan cara saling memperlakukan pasangannya secara bermartabat. Seorang suami harus selalu berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang terbaik untuk istri. Begitupun istri harus selalu berpikir, berupaya dan melakukan yang terbaik untuk suami.

Keempat, suami dan istri bersama-sama menyelesaikan masalah keluarga melalui Musyawarah. Pengelolaan rumah tangga terutama jika menghadapi persoalan harus diselesaikan bersama. Musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan pasangan, dan mengambil keputusan yang terbaik bagi semua pihak.

Kelima, suami dan istri saling mengupayakan dan menjaga keridhoan pasangannya (Taradlin). Sebagaimana pihak-pihak yang bermuamalah dalam segala bidang kehidupan, seami dan istri juga harus sama-sama menjaga keridhaan pasangannya dalam setiap tindakan dalam perkawinan. Harus diyakini bahwa ridho Allah pada istri tergantung pada ridho suami dan sebaliknya ridho Alla pada suami tergantung pada ridho istri.

Lima pilar ini dapat menguatkan ikatan perkawinan dan memperdalam rasa saling memahami dan kasih-sayang. Semua itu akan bermuara pada terwujudnya ketahanan keluarga.

Dengan lima pilar ini, suami dan istri akan senantiasa termotivasi untuk membangun rumah tangga sesuai amanat ilahi. Berusaha menjaga amanat ilahi sama halnya berusaha menjadi orang yang salih di mata Allah. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa harta terindah bagi suami adalah istri yang salihah. Dan terntu saja, bagi istri, harta terindahnya adalah suami yang salih. Hal inilah yang akan membantu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Memasang Atap

Konstruksi terakhir dari bangunan keluarga sakinah setelah fondasi dan pilar adalah atap. Ini berfungsi sebagai penutup dan juga menaungi seluruh anggota keluarga yang ada di dalamnya. Maka yang menjadi atapnya adalah kemaslahatan umum, baik bagi anggota keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam artian bahwa, keluarga harus membawa dan memberi manfaat baik bersifat duniawi terlebih lagi yang sifatnya ukhrawi.

Dengan demikian, setelah seluruh bagian dari konstruksi bangunan keluarga sakinah terpenuhi maka secara garis besar dapat dipahami bahwa karakteristik dari keluarga sakinah itu adalah, Pertama, dibangun di atas perkawinan yang sah dan dicatatkan; Kedua, dilandasi prinsip keadilan, kesalingan, keseimbangan, nondiskriminasi, dan non-kekerasan, persfektif keadilan gender; Ketiga, dirawat dengan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan membahagiakan seluruh anggota keluarga; Keempat, memperaktekkan kehidupan beragama yang moderat (wasathiyah) yang diliputi dengan nilai cinta bangsa, toleran, anti kekerasan, serta menghargai kearifan tradisi nusantara; Kelima, mengupayakan kemaslahatan seluruh anggota keluarga serta berkontribusi pada kemaslahatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pada akhirnya, kita semua tentu berharap agar terwujudnya bangunan keluarga sakinah sekaligus dapat mengurai problematika ketahanan keluarga yang ada di Indonesia.

Penulis : Syahrul Afandi, S. H.I (Kepala KUA Kecamatan Krayan)

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca