OpiniTeknologi

Kolonialisme Digital: Tantangan Kemerdekaan Abad 21

×

Kolonialisme Digital: Tantangan Kemerdekaan Abad 21

Sebarkan artikel ini
Penulis : Afiyah Rifkha Rahmika (Dosen Teknik Informatika Universitas Tadulako)

OPINI –Tepat hari ini menandai 80 tahun Indonesia merdeka. Selama delapan dekade, bangsa ini berhasil membuktikan diri sebagai negara yang berdaulat secara politik, meski perjalanan menuju kemakmuran masih penuh tantangan. Namun, di era teknologi informasi, muncul sebuah pertanyaan provokatif: apakah Indonesia benar-benar merdeka, atau justru sedang dijajah kembali dalam bentuk baru yang lebih halus penjajahan digital ?

Hari ini, hampir seluruh aspek kehidupan kita bergantung pada teknologi digital. Belanja dilakukan lewat aplikasi, komunikasi ditopang oleh media sosial, pekerjaan dijalankan dengan platform daring, bahkan layanan publik dan pemerintahan pun bertransformasi ke sistem digital. Semua itu memang memudahkan hidup, tetapi ada satu persoalan mendasar: sebagian besar infrastruktur, perangkat, dan platform yang kita gunakan masih bergantung pada teknologi asing.

Click Here

Riset akademik tentang cyber sovereignty menunjukkan bahwa negara yang tidak menguasai teknologi inti akan rentan kehilangan kendali atas data dan arah pembangunan ekonominya. Fakta di lapangan membenarkan hal ini. Data pribadi warga Indonesia masih banyak tersimpan di server luar negeri, algoritma media sosial yang kita gunakan ditentukan perusahaan global, dan perangkat keras mayoritas masih impor. Artinya, sebagian besar “urat nadi digital” kita masih dikendalikan pihak luar.

Kolonialisme Baru

Inilah bentuk baru penjajahan yang sering disebut sebagai kolonialisme digital. Jika dahulu bangsa ini dijajah karena rempah-rempah, kini “rempah” abad ke-21 adalah data. Data adalah sumber daya strategis yang menentukan arah ekonomi, politik, hingga keamanan nasional. Tanpa kendali atas data, Indonesia hanya akan menjadi pasar besar yang dieksploitasi, bukan pemain utama yang berdaulat.

Padahal, potensinya sangat besar. Laporan ekonomi digital Asia Tenggara menempatkan Indonesia sebagai pasar terbesar dengan nilai transaksi mencapai ratusan miliar dolar. Generasi muda Indonesia juga dikenal kreatif, adaptif, dan cepat menguasai teknologi baru. Namun sayangnya, tanpa kemandirian dalam inovasi, keuntungan ekonomi digital lebih banyak dinikmati perusahaan global ketimbang rakyat sendiri.

Penguatan Regulasi Teknologi

Momentum 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi alarm kesadaran. Kemerdekaan tidak cukup hanya dirayakan dengan parade dan upacara bendera. Kemerdekaan harus dimaknai lebih jauh sebagai kemampuan bangsa ini untuk berdiri di atas kaki sendiri secara digital. Itu berarti membangun ekosistem teknologi lokal yang kuat, memperkuat regulasi perlindungan data, dan yang paling penting, menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang teknologi.

Pemerintah sudah memulai beberapa langkah, seperti pembangunan pusat data nasional, regulasi perlindungan data pribadi, serta dukungan pada startup lokal. Namun, upaya ini belum cukup. Dibutuhkan konsistensi kebijakan, kolaborasi lintas sektor, dan dukungan masyarakat luas agar Indonesia benar-benar mampu keluar dari ketergantungan digital.

Maka, pertanyaan penting di usia 80 tahun kemerdekaan ini adalah: apakah kita sudah merdeka sepenuhnya, atau baru merdeka setengah jalan? Bendera Merah Putih mungkin berkibar gagah di angkasa, tetapi jangan sampai data dan sistem kita justru “berkibar” di bawah kendali asing.

Kemerdekaan sejati di era modern adalah kemerdekaan digital. Tanpa itu, kita hanya akan merdeka secara fisik, tetapi tetap terjajah secara digital.

Penulis : Afiyah Rifkha Rahmika (Dosen Teknik Informatika Universitas Tadulako)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca