Sekilasindonesia.id, || KALBAR – Dunia jurnalistik kembali tercoreng oleh aksi kekerasan dan intimidasi, dua wartawan dari Media Online Detik Kalbar dan Kalbar Satu Suara menjadi korban tindakan represif saat menjalankan tugas jurnalistik di wilayah Sungai Ayak, Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Jumat (27/06/2025).
Kedua wartawan, berinisial R dan S, sedang melakukan peliputan terkait dugaan aktivitas tambang emas tanpa izin di daerah tersebut.
Insiden bermula ketika mereka mengambil dokumentasi di sebuah pom bensin lanting, kemudian melanjutkan ke lokasi penjualan emas yang diduga berasal dari aktivitas tambang ilegal.
Namun, dalam perjalanan mereka dihadang oleh sekelompok orang yang diduga merupakan preman bayaran atau oknum yang terafiliasi dengan aktivitas tambang ilegal. R dan S disandera selama kurang lebih empat jam.
Dalam penyekapan tersebut, keduanya mengaku mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan tendangan.
Situasi baru mereda setelah aparat dari Polsek Sungai Ayak tiba di lokasi dan membawa kedua wartawan tersebut ke kantor polisi setempat, bersama kendaraan yang mereka gunakan.
Ironisnya di kantor polisi, keduanya dipaksa menandatangani sebuah surat pernyataan yang berisi empat poin yang dinilai mencederai kemerdekaan pers.
Isi poin pernyataan tersebut antara lain : 1. Tidak boleh ada pemberitaan negatif mengenai Kecamatan Belitang Hilir.
2. Wartawan dilarang masuk ke wilayah Belitang Hilir.
3. Tidak boleh ada tindakan pemerasan atau pungli oleh wartawan di wilayah tersebut.
4. Media Detik Kalbar bertanggung jawab jika terjadi pemberitaan negatif setelah kejadian ini.
Surat tersebut diduga dibuat di bawah tekanan dari sekelompok orang yang berkepentingan menjaga kerahasiaan aktivitas tambang ilegal.
Ketua DPD Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) Kalimantan Selatan mengecam keras tindakan kekerasan dan intimidasi tersebut.
Ini adalah bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan. Tindakan ini jelas melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas pelaku kekerasan, baik yang berasal dari masyarakat sipil maupun oknum aparat,” tegas Ketua DPD GWI Kalsel.
Senada, Sekretaris Jenderal Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Mukhlis juga mengecam persekusi terhadap dua wartawan tersebut.
Ini adalah bentuk nyata intimidasi dan upaya membungkam kerja jurnalistik, kedua wartawan itu juga anggota FPII.
“Kami mendesak agar aparat penegak hukum menindak tegas pelaku dan mengevaluasi peran Polsek Sungai Ayak, terutama terkait pembuatan surat pernyataan di bawah tekanan,” ujarnya.
FPII juga meminta pihak kepolisian untuk menyelidiki legalitas tambang emas yang diduga tidak berizin tersebut.
Jika terbukti ilegal, maka aktivitas tambang harus dihentikan karena tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam keselamatan para jurnalis yang menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial.
Sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999, setiap orang yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian setempat.
Bagindo Yakub.