Sekilasindonesia.id, || BANGKA – Perkembangan teknologi robotika dan kecerdasan buatan (AI) tengah merevolusi industri global.
Efisiensi meningkat drastis, namun di balik lonjakan produktivitas, muncul dilema mendalam: bagaimana nasib buruh manusia ketika mesin semakin cerdas dan mampu menggantikan peran mereka?
Revolusi industri 4.0 membawa kita ke persimpangan antara dorongan inovasi dan perlindungan hak-hak tenaga kerja.
Isu ini tak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi etika dan keadilan sosial.
Robotika memberikan keunggulan dalam hal kecepatan, akurasi, dan penghematan biaya.
Di sektor manufaktur, banyak tugas repetitif seperti perakitan telah digantikan oleh mesin.
Dalam logistik, drone dan kendaraan otonom mempercepat distribusi barang.
Namun, laporan World Economic Forum (2020) memperkirakan bahwa otomasi dapat menghilangkan 85 juta pekerjaan global hingga 2025, terutama di bidang administrasi, produksi, dan ritel. Di sisi lain, peluang juga muncul: 97 juta pekerjaan baru berpotensi tercipta, terutama di bidang teknologi, asalkan dilakukan pelatihan ulang secara masif.
Pertanyaannya, bagaimana memastikan transisi yang adil bagi buruh yang terancam tersingkir? Bagi pekerja dengan pendidikan terbatas, ancaman ini nyata.
Sementara perusahaan seperti Amazon dan Foxconn menghemat biaya besar melalui otomasi, ribuan buruh kehilangan pekerjaan dan harus bertahan dalam ekonomi informal.
Studi Kasus: Dampak Robotika di Lapangan
Amazon: Penggunaan robot Kiva mengurangi waktu pengambilan barang dari 90 menit menjadi 15 menit.
Namun, otomatisasi ini menurunkan peran manusia dalam logistik. Posisi baru yang tercipta di bidang teknis belum tentu bisa diisi oleh buruh lama tanpa pelatihan tambahan (The Verge, 2019).
Foxconn: Pada 2016, Foxconn menggantikan sekitar 60% tenaga kerja di pabriknya dengan robot.
Produktivitas meningkat, namun langkah ini menimbulkan kritik karena memarginalkan buruh berupah rendah (BBC, 2016).
Jepang: Menghadapi krisis demografis, Jepang mengadopsi robot di restoran dan layanan lansia.
Henn-na Hotel, misalnya, dioperasikan hampir seluruhnya oleh robot.
Solusi ini efektif, tetapi menimbulkan pertanyaan soal hilangnya sentuhan manusia (The Guardian, 2020).
Solusi tidak terletak pada kompetisi antara manusia dan mesin, melainkan kolaborasi.
MIT Human-Centered Robotics Group (2021) menyarankan robot digunakan untuk tugas-tugas berisiko atau monoton, sementara manusia fokus pada pekerjaan berbasis empati dan pengambilan keputusan.
Di sektor medis, misalnya, sistem robotik da Vinci membantu prosedur bedah kompleks, tetapi kendali tetap di tangan dokter.
Selain itu, investasi dalam pendidikan dan reskilling menjadi keharusan. Sistem pelatihan vokasi ganda di Jerman, yang menggabungkan teori dengan magang industri, bisa menjadi model dalam menyiapkan tenaga kerja menghadapi era otomasi.
Penutup
Tantangan ini menuntut kebijakan responsif dari pemerintah, tanggung jawab sosial dari korporasi, dan kesiapan individu untuk beradaptasi.
Bila dikelola dengan baik, transformasi teknologi dapat menjadi peluang emas. Namun jika diabaikan, kesenjangan sosial dan pengucilan ekonomi akan makin dalam.
Seperti dikatakan ekonom Daron Acemoglu, “Teknologi seharusnya memperluas kapasitas manusia, bukan menggantikannya.”
Dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup etika, pendidikan, dan regulasi, kita dapat membentuk masa depan kerja yang lebih manusiawi.
(Redaksi)