Sekilasindonesia.id, || Bangka Barat – Tradisi penangkapan ikan menggunakan tuguk, alat tangkap tradisional berbahan kayu nibung, kian terdesak. Praktik turun-temurun yang menopang ekonomi nelayan di Sungai Beras dan sekitarnya ini kini menghadapi ancaman serius akibat kerusakan lingkungan.
Tuguk merupakan perangkap ikan berbentuk kantong yang dipasang secara semi permanen di aliran sungai. Kayu nibung, bahan utama penyangga tuguk, diambil dari pedalaman anak sungai karena ketahanannya terhadap air dan kondisi lembap.
“Tuguk ini warisan leluhur kami. Pembuatannya tidak sembarangan, harus melalui ritual dan selamatan,” ujar Marguna, nelayan setempat, kepada wartawan, Rabu (24/4/2025).
Hasil tangkapan tuguk seperti udang, teri, dan ikan kecil lain biasanya diolah menjadi udang kering, terasi, dan ikan asin. Produk-produk tersebut menjadi sumber penghidupan utama warga pesisir Sungai Beras.
Namun, aktivitas tambang timah apung di hulu sungai dituding merusak ekosistem mangrove, tempat berkembang biak ikan dan udang. Kerusakan itu membuat hasil tangkapan tuguk menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami khawatir, kalau mangrove rusak, tuguk kami tidak menghasilkan apa-apa. Padahal ini mata pencaharian utama,” kata Marguna.
Para nelayan mendesak pemerintah dan penambang agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola lingkungan. Mereka tidak menolak tambang, namun menuntut penegakan aturan agar kelestarian sungai tetap terjaga.
“Sungai ini sumber hidup kami. Jangan dirusak,” tegasnya.
Jika tidak ada langkah nyata, tradisi tuguk yang merupakan kearifan lokal masyarakat pesisir bisa hilang. Selain dampak sosial ekonomi, kerusakan ini juga mengancam keberlanjutan ekosistem Sungai Jering dan wilayah pesisir Bangka Barat.
(Redaksi)