
OPINI, SEKILASINDO.COM– Mencermati kegundahan terhadap dinamika pengelolaan UIN Alauddin, beberapa usaha untuk meyakinkan pimpinan akan kekhilafannya melabrak aturan yang ada. Surat keberatan telah saya layangkan, juga telah mengadu pada komisi Penegakan Kode Etik.
Menariknya, beberapa respon yang berkompeten terhadap kegalauan ini.
Beberapa kawan sejawat memposisikan ku sebagai tukang kritik, sebahagianya menilai aktivitas kritik ini karena berada dalam kelompok buntung, sebahagian lainnya merasa untung karena terwakili karena mungkin memiliki kegundahan yang sama namun tak kuasa mengapresiasikannya.
Pak Rektor merespon bijak, menelpon sambil mengingatkan persahabatan kami walau tak memberi solusi. Balasku, kepada beliau untuk tidak terlena pada pujian tetapi sahabat yang baik yang mampu melihat kekurangan sahabatnya seraya memberi saran perbaikan.
Sementara sebahagian pejabat yang terusik kursi empuknya akan merasa terancam. Respon ini kuterima pula bahkan menilaiku akan berpuas hati bila ia kehilangan jabatan.
Apa yang aku lakukan bukanlah untuk menghalang rezeki orang, tetapi berupaya mengambil bagian dari perintah Allah untuk saling mengingatkan. Bila upaya tazkirah ini di-posting di media, hal itu ditempuh karena saluran aspirasi tersumbat.
Menjawab pertanyaan seorang komisioner Penegakan Kode Etik yang bertanya “apa motivasi anda mengadukan pelanggaran maladministrasi rektor dan dekan?”. Pertanyaan ini membuatku kepanasan dan kujawab: “adakah dalam petitum pengaduanku untuk kepentingan pribadiku..?, atau pengaduanku ini melanggar rambu-rambu formil..?”.
Saya berusaha untuk mewakili civitas akademika yang tak mampu membahasakan fakta, termasuk para komisioner KPKE yang tak mampu berperan memberi saran dan masukan kepada Rektor, termasuk senat universitas yang tak mampu memberi pertimbangan, lembaga ini ada namun tak berkuasa.
Akhirnya, Komisi Penegakan Kode Etik (KPKE) mengeluarkan keputusan
tidak berwewenang memeriksa dan mengajukan rekomendasi kepada Rektor UIN Alauddin, dengan alasan pengadu tidak memiliki legal standing sebagai pengadu karena berstatus sebagai PNS yang diberhentikan sementara karena menjadi komisioner lembaga nonstruktural, dengan berdasar pada SK Rektor Nomor Un.06/02.A Tahun 2017 tentang perubahan nama Komisi Disiplin (Komdis) menjadi Komisi Penegakan Kode Etik, namun aturan materilnya tetap diatur dalam SK Rektor Nomor 118 Tahun 2017 tentang Pedoman Kode Etik Dosen.
Keputusan ini telah diperkirakan lebih awal, karena dalam pedoman itu pada Pasal 1 (4 dan 5) menyebutkan civitas akademika hanya dosen dan mahasiswa, namun dalam kenyataannya KPKE juga telah memeriksa tenaga administrasi sebagai pengadu atau teradu.
Dengar informasi dari seorang kawan yang memberitakan kedatangan inspektorat untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran maldministrasi ini.
Membaca postingan sahabat ini, bukanlah menghadirkan kegembiraan tetapi malah sebaliknya. Pikirku, kenapa kesalahan ini harus melibatkan lembaga lain, seakan kita tidak mampu untuk beriringan saling membahu, menafikan kepentingan pribadi dan golongan, mengelompokkan si untung dan si buntung, sementara tujuan besar kita berkontribusi dalam mengembangkan institusi pendidikan tinggi ini.
Bila ambisi melanggengkan jabatan dan kekuasaan, maka cenderung akan memikirkan kepentingan orang lain. Misalkan, Dekan yang tidak memenuhi syarat itu karena baru berpangkat Lektor (yang disyaratkan minimal Lektor Kepala) menandatangani ijazah para alumi tak berpikir legalitas ijazah alumninya. Hari ini sebahagian mahasiswa diwisuda dan ijazahnya ditandatangani oleh pejabat dari korban maladministrasi rektor.
Ada pula sejawat yang mendalilkan tindakan dekan dalam mengangkat pejabat program studi dari unsur non PNS pada regulasi yang berbeda yaitu pada PMA 3 tahun 2018 tentang pengangkatan dosen PNS pada PTKS dan dosen Non PNS pada PTKN, dia lupa bahwa norma ini berbeda dengan PMA 20/2014 tentang Statuta UIN Alauddin.
UIN Alauddin adalah Universitas Negeri yang pengelolaannya diatur dalam regulasi berbentuk Statuta melalui Peraturan Menteri Agama Nomor 20 tahun 2014, tak dapat disamakan dengan perguruan tinggi di luar negeri yang mungkin dijabat oleh profesional non PNS. Hal ini mengemuka dalam perbincangan grup WA UIN Alauddin Community.
Bila kebijakan itu diberlakukan, maka terlebih dahulu merubah alas hukumnya. Bila perguruan tinggi di luar negeri memberlakukan kebijakan untuk pejabatnya non PNS, pastilah diatur dalam regulasi yang mereka buat. Hemat penulis, kisruh ini menjadi sekaligus menjadi warning bagi Kementerian Agama RI untuk kembali menata organisasi dan tata kelola Perguruan Tinggi Keagamaan.
Mungkin dekan Fakultas Syariah dan Hukum merasa terusik sebagai teradu pada KPKE yang disangka melakukan pelanggaran maladministrasi, kemudian diinvestigasi oleh Inspektorat karena mengangkat pejabat Program Studi dari unsur non PNS dan asisten ahli.
Dari hasil investigasi inspektorat ini kemudian Dekan Fakultas Syariah dan Hukum berbesar hati melakukan pergantian dan melantik pejabat baru yang memenuhi syarat pada tanggal 9 Desember 2019 yang lalu dan berharap pelantikan ini untuk demi menjaga kinerja jurusan agar berjalan lancar, hal itu diungkapkannya dalam amanah pelantikan.
Perbaikan yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum ini sekaligus bertanda pengakuan telah melakukan kekhilafan yang sejatinya diikuti oleh Dekan lain yang melakukan hal yang sama tanpa menunggu investigasi selanjutnya.
Akhirnya hari ini tanggal 18 Desember 2019 saya mengucapkan selamat kepada para wisudawan dan empatiku pada wisudawan yang tersandera ijazahnya karena ditandatangani oleh pejabat yang tidak memenuhi syarat.
Penulis : Abdillah Mustari (Alumni dan Pengguna lulusan UIN Alauddin)









