BeritaDaerahOpini

Implementasi Mahasiswa Hukum Dalam Menyikapi Pernikahan Beda Agama pada Undang-Undang NO.1 Tahun 1974

×

Implementasi Mahasiswa Hukum Dalam Menyikapi Pernikahan Beda Agama pada Undang-Undang NO.1 Tahun 1974

Sebarkan artikel ini

Sekilasindonesia.id, || BANGKA BELITUNG – Bukan tanpa alasan perempuan saat ini memperjuangkan haknya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan, sejarah telah mencatat sisi kelam keterpinggiran perempuan dalam berbagai bidang, tidak hanya disebabkan oleh strategi structural yang terencana, namun upaya-upaya untuk menafsirkan berbagai teks-teks normative yang hanya dilakukan oleh laki-laki, sehingga sangat minim keterlibatan perempuan dalam menafsirkan dan mengelaborasi makna yang terkandung dalam teks tersebut.

Demikian juga dengan produk undang-undang yang dihasilkan oleh system politik yang ada, terkesan perundangan tersebut mendiskriminasikan perempuan, hal tersebut disebabkan karena masih kuatnya budaya partiarki yang mempengaruhi negara maupun masyarakat sekitarnya.

Click Here

Misalnya UU No.1/1974 pasal 31 ayat 3 tentang perkawinan yang mengatakan “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga, dan suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga dengan kemampuannya sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.”

Terkesan pasal tersebut memunculkan semacam mitos bahwa laki-laki selalu menjadi pemimpin atas perempuan atau lebih berhak memimpin dari pada perempuan. Ini sudah menjadi ajaran yang kokoh tertanam dalam persepsi masyarakat.

Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama.

Dilingkungan masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba pas-pasan, Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum.

Dalam hal ini, dampak sosial berusaha ditekan dengan munculnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan unifikasi dari seluruh hukum pernikahan yang ada di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas dasar UU ini pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

Pasangan yang menikah beda agama pada umumya melanggar norma agama padahal pasangan tersebut telah dilengkapi dengan akal budi dan hati nurani sehingga dapat membedakan peritah dan larangan yang terdapat dalam norma agama.

Dalam konsep HAM barat yang dewasa ini sangat digencarkan, pernikahan dirumuskan dalam instrumen hukum internasional yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), tepatnya pada pasal 16 dalam 3 ayat, yaitu :

1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.

2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.

Jika konsep ini dikaitkan dengan pernikahan beda agama yang dilakukan oleh pasangan Devina dan Jaka, maka perkawaninan ini dianggap sah menurut HAM, karena keduanya menyetujui untuk melangsungkan pernikahan beda agama dan memilih untuk melakukannya dengan pemberkatan secara Kristen di gereja.

Hal ini tentu bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Menurut KHI bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah untuk dilakukan, karena perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim harus dengan Muslimah, tidak boleh dengan wanita non-muslim.

Apalagi dalam praktik yang dilakukan dalam penetapan tersebut mereka menikah menggunakan ketentuan agama Kristen yang sangat bertentangan dalam Islam.

Menurut Hak Azasi Manusia (HAM), pada dasarnya manusia memiliki hak untuk memilih untuk berpasangan dengan siapapun, akan tetapi dalam hal ini ada kekuasaan yang paling tinggi yaitu kekuasan tuhan, dimana setiap agama memiliki ketentuan tersendiri untuk mengizinkan dan mengesahkan pernikahan, dan setiap agama tidak mengizinkan untuk menikah dengan berbeda keyakinan.

Penulis : Risma Sabel
Mahasiswi Hukum Universitas Bangka Belitung

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca